Thursday, October 4, 2007

Sipiso Somalim

Dahulu kala hiduplah seorang raja di daerah Rura Silindung yang bernama Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan, Raja yang sangat makmur dan kaya raya. Raja ini mempunyai seorang saudara putri yang bernama siboru Sandebona yang kemudian kawin dengan raja Panuasa dari kampung Uluan.

Suatu saat siboru Sandebona mengandung seorang anak laki-laki, akan tetapi setelah genap waktunya bayi ini tidak kunjung lahir, kemudian Siboru Sandebona kebingungan, lalu menemui seorang dukun sakti untuk menanyakan apa yang bakal terjadi dengan anak yang ada di dalam kandungannya. Dusun sakti kemudian memberikan jawaban bahwa bayi ini akan menjadi seorang laki-laki yang memiliki kharisma dan kelebihan tersendiri.

Begitulah setelah lahir, bayi ini diberi nama Sipiso Somalim. Setelah dewasa Sipiso Somalim sudah menunjukkan kelebihan tersendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Pada suatu saat dia disuruh orangtuanya untuk membajak sawah dengan menggunakan tenaga kerbau, dia hanya duduk tenang, namun kerbau ini dapat disuruhnya bekerja sendiri untuk membajak sawah itu. Dalam sikapnya terhadap orang-orang sekitarnya, dia sangat sopan dan berbudi baik. Bahkan semua tindak tanduknya mencerminkan sikap seorang anak-raja.

Pada usia sudah matang, Sipiso Somalim tetap saja pada pendiriannya untuk meminang putri pamannya, ibunya tidak kuasa lagi menolak permintaan Sipiso Somalim. Lalu suatu ketika ibunya memberangkatkan Sipiso Somalim yang didampingi seorang pengawalnya yaitu Sipakpakhumal.

Dengan mengenakan pakaian kebesaran serta bekal secukupnya termasuk “Pungga Haomasan” (obat penangkal lapar dan haus), Sipiso Somalim berangkat menuju kampung pamannya Rura Silindungdn menelusuri hutan lebat, dengan jalan yang penuh resiko, seperti ancaman dari binatang buas mereka pun berjalan hingga suatu hari tiba pada sebuah pancuran yang sangat sejuk. Melihat sejuknya air pancuran ini, Sipiso Somalim meminta agar mereka berhenti dan mandi untuk melepas rasa letih. Kemudian dia menanggalkan pakaian kebesarannya dan selanjutnya meminta Sipakpakhumal untuk menjaganya. Adapun Sipakpakhumal sejak keberangkatannya dengan Sipiso Somalim sudah memiliki niat jahat bagaimana agaar dia dapat berperan sebagai Sipiso Somalim agar selanjutnya dapat memperistri putri Punsahang Mataniari.

Maka dengan diam-diam dia mengenakan pakaian kebesaran Sipiso Somalim seperti layaknya seorang raja. Karena asiknya Sipiso Somalim mandi, dia tidak menghiraukan apa yang telah diperbuat Sipakpakhumal tadi. Setelah siap mandi betapa terkejutnya Sipiso Somalim menyaksikan Sipakpakhumal yang telah mengenakan pakainnya, dan sama sekali dia tidak dapat berbuat apa-apa, karena dengan pakaian ini kharisma Sipiso Somalim langsung pindah Sipakpakhumal.

Sipakpakhumal kemudian dengan menghunus pedang, dan suara lantang berkata, “Sejak sekarang ini sayalah yang menjadi Sipiso Somalim dan kau menjadi Sipakpakhumal, kita akan terus menuju kampung Pusahang Mataniari dan jangan sekali-kali bicara pada siapapun bahwa aku telah menggantikanmu sebagai Sipiso Somalim, dan apabila hal ini kau ceritakan pada siapapun kau akan kubunuh, mengerti!,” . Mendengar semua ini Sipiso Somalim tidak dapat bebuat apa-apa kecuali hanya tunduk serta menerima apa yang terjadi.

Perjalananpun dilanjutkan dan sejak itu, Sipiso Somalim dipanggil menjadi Sipakpakhumal dan demikian sebaliknya, Sipakpakhumal menjadi Sipiso Somalim. Selama dalam perjalanan, Sipakpakhumal yang sebelumnya adalah Sipiso Somalim tetapmenunjukkan sikap baik pada Sipiso Somalim, dan selama itu pula Sipakpakhumal tidak habis piker bagaimana perasaan ibu yang dia tinggalkan sebab sebelum berangkat dia berpesan kepada ibunya agar ibunya memperhatikan sebatang pohon yang dia tanam di dekat rumahnya, apabila pohon itu layu berarti dia mendapat kesulitan di tengah jalan, dan apabila mati maka dia telah mati diperjalanan.

Setelah berjalan beberapa hari akhirnya mereka tiba di Rura Silindung tempat Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan. Melihat Sipiso Somalim datang Punsahang Mataniari terus tahu bahwa dia adalah anak saudarinya yaitu Siboru Sandebona. Lalu dengan langsung dia memeluk Sipiso Somalim meskipun sebenarnya dia memiliki firasat bahwa ada yang kurang beres dengan keponakannya itu, tetapi mereka tidak menunjukkan bahkan memperlakukannya Sipiso Somalim seperti keluarganya sendiri. Adapun Sipakpakhumal yang merupakan Sipiso Somalim yang sebenarnya tetap diam dan tidak berani berbuat apa-apa dan dia diperlakukan sebagai layaknya seorang pembantu.

Lama kelamaan Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim makin menunjukkan sikap yang kurang baik terhadap keluarga pamannya maupun kepada Sipakpakhumal. Sebagaimana tujuan keberangkatan Sipiso Somalim untuk meminang putri pamannya, suatu ketika dia menyampaikan hasrat tersebut kepada pamannya. Akan tetapi untuk sementara, pamannya menolak dengan cara halus dengan alasan agar jangan terburu-buru dulu. Semua ini tentu karena pamannya makin hari makin curiga terhadap Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim.

Rasa gelisah tetap menyelimuti hati ibu Sipiso Somalim, di kampung halaman, lalu kemudian dia kembali mengirimkan seekor kerbau yang bernama “Horbo Sisapang Naualu”. Ketika kerbau ini sampai Punsahang Mataniari memanggil Sipiso Somalim untuk mengiring kerbau ini ke kandang. Akan tetapi saat dia mendekat kerbau ini mengamuk dan hampir menanduk Sipakpakhumal. Dengan kejadian ini, Punsahang Mataniari semakin menyadari bahwa ada yang tidak beres diantara Sipiso Somalim dan Sipakpakhumal. Kemudian Punsahang Mataniari memanggil Sipakpakhumal untuk mengiring kerbau tadi. Pada saat Sipakpakhumal mendekat, kerbau ini langsung mendekat seperti bersujud.

Kedatangan kerbau ini, bagi Sipakpakhumal mengetahui bahwa itu sengaja dikirim oleh ibunya dari kampung halaman. Sehingga pada saat dia menggembalakan kerbau ini di sawah dia membuka tanduk kerbau ini ternyata di dalamnya terdapat berbagai jenis alat musik dan perhiasan kerajaan sementara kerbau ini membajak sawah, dia memainkan alat-alat musik tadi sehingga karena merdunya segenap burung yang terbang diangkasa turut bernyanyi ria.

Pada siang hari, datanglah putri Punsahang Mataniari untuk mengantar makanan Sipakpakhumal. Setelah dekat, dia sangat terkejut mendengar musik yang sangat merdu yang diiringi oleh nyanyi ria yang banyak bertengger diatas dahan, ternyata yang memainkan musik ini adalah Sipapakhumal. Lebih terkejut lagi, pada saat dia memperhatikan bahwa kerbau tersebut membajak sawah tanpa digembalakan Sipakpakhumal. Dengan rasa gugup dan ketakutan, Sipakpakhumal menerima makanan itu dari putri Punsahang Mataniari, dasar curiga, putri Punsahang Mataniari pamit seolah-olah pulang ke rumah akan tetapi dia bersembunyi dibalik sebuah pohon besar untuk mengamati dari dekat tindak tanduk Sipakpakhumal. Sipakpakhumal merasa bahwa putri Punsahang Mataniari sudah jauh lalu diambilnya nasi tersebut dan ditaburkannya untuk makanan burung yang semuanya mengelilingi Sipakpakhumal. Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengambil sebuah benda kecil yang disebut “pungga haomasan”. Pungga haomasan ini kemudian dicium dan dijilat lalu seketika itu dia kenyang sebagaimana layaknya makan nasi. Pungga haomasan ini diberikan ibunya saat dia berangkat dahulu dan sampai saat itu tetap berada ditangannya. Sehingga selama ini pun Punsahang Mataniari sebenarnya juga curiga karena pengetahuannya Sipakpakhumal tidak pernah makan tetapi tetap mengaku kenyang. Menyaksikan semua apa yang terjadi putri Punsahang Mataniari cepat-cepat menemui dan memberitahukan apa yang dia saksikan kepada ayahnya Punsahang Mataniari, dan ayahnya pun semakin yakin bahwa Sipakpakhumal yang dijadikan pembantu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya.

Sementara itu, Sipakpakhumal yang mengaku Sipiso Somalim semakin mendesak pamannya agar dia dikawinkan dengan putri pamannya. Hingga pada suatu ketika, pamannya mempertanyakan kepada putrinya yang paling sulung agar berkenan menerima Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim menjadi suaminya akan tetapi dia menolak permintaan itu. Kemudian Punsahang Mataniari menawarkan kepada anak perempuannya nomor dua dan ternyata putrinya itu mau. Lalu malalui upacara adat mereka dikawinkan.

Putri sulung Punsahang Mataniari meminta kepada ayahnya untuk menggelar upacara dengan membunyikan seperangkat musik dan mengundang semua pemuda yaitu anak raja-raja yang berada disekeliling kampungnya. Untuk menari dan dia ingin memilih salah satu dari antara mereka untuk menjadi suaminya. Acara sudah digelar akan tetapi tak satu orangpun dari pemuda itu berkenan di hati putrinya Punsahang Mataniari, namun diluar dugaan, tiba-tiba seorang pemuda menunggang kuda dan berpakaian kerajaan tiba-tiba muncul dipesta itu, semua orang tercengang dan seketika itu pula pemuda itu meninggalkan pesta itu.

Dengan kehadiran pemuda itu, sang putri mengatakan kepada ayahnya bahwa dia sangat tertarik kepada pemuda tersebut dan meminta kepada ayahnya agar dia menyuruh para pengawal untuk mencari asal pemuda tadi. Para pengawalnyapun mengikuti jejak pemuda tadi dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yaitu tempatnya Sipakpakhumal untuk mengembalakan ternak tuannya. Para pengawalmya heran sebab ada tanda-tanda bahwa Sipakpakhumal lah lelaki yang baru saja hadir di pesta itu, karena sesaat setelah Sipakpakhumal berada di gubuknya lalu ia menukar pakaiannya seperti semula dan pakaian kebesaran itu adalah pemberian ibunya yang dikirimkan melalui kerbau itu dan setelah dia sampai dipondoknya, pakaian kebesaran itupun ditanggalkan dan memakai pakaian biasa. Para pengawal kemudian kembali dan melaporkan kepada Punsahang Mataniari bahwa mereka telah tidak menemukan jejak pemuda itu.

Dengan hati tidak sabar, Punsahang Mataniari kemudian memangil si Piso Somalim serta bertanya apa yang pernah terjadi antara mereka berdua. Karena Punsahang Mataniari mengancam akan membunuh apabila dia bohong maka Si Piso Somalim mengaku dengan terus terang apa yang telah dia lakukan terhadap Sipakpakhumal sehingga Sipiso Somalim yang sebenarnya akhirnya dijadikan sebagai Sipakpakhumal dan demikian juga sebaliknya. Dengan perasaan berang sebenarnya ingin menghukum Sipakpakhumal ini, akan tetapi karena Punsahanng Mataniari sadar bahwa Sipakpakhumal telah terlanjur menantunya sehingga dia tidak dapat berbuat apa-apa.Begitupun karena Sipakpakhumal menyadari kesalahannya dan merasa hidupnya akan terancam, besok harinya pada pagi-pagi buta dia melarikan diri beserta istrinya yang menurut cerita berangkat menuju Sumatera Timur.

Pada kedua kalinya, atas permintaan putri Punsahang Mataniari, kembali digelar acara adat dengan membunyikan seperangkat alat musik, dan pada saat acara berakhir tiba-tiba seorang pemuda dengan menunggang kuda “Siapas Puli” kembali hadir setelah menari-nari sejenak akhirnya menghilang. Baik Punsahang Mataniari maupun putri sulung menganggap bahwa yang datang itu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya dan yang selama 7 tahun telah terlanjur mereka jadikan sebagai pembantu dan semua ini adalah atas ulah dari kebohongan Sipakpakhumal yang selama ini mengaku sebagai Sipiso Somalim.

Maka pada saat itu juga, Punsahang Mataniari memerintahkan para pengawal untuk menjemput Sipakpakhumal dari tempatnya dan membawanya terhadap Punsahang Mataniari. Pakpakhumal sebenarnya apa yang terjadi dan sebelumnya dia menolak untuk menemui Punsahang Mataniari akan tetapi setelah dibujuk akhirnya diapun mau.

Pertemuan dengan Punsahang Mataniari beserta seluruh keluarganya sangat mengharukan. Pada saat itu akhirnya Sipakpakhumal yang sebenarnya adalah Sipiso Somalim menceritakan semua yang terjadi sejak diberangkatkan Ibunya 7 tahun yang lalu akhirnya mendapat malapetaka atas ulah licik Sipakpakhumal yang sebenarnya. Pada saat itu pamannya menyampaikan maaf yang sebenarnya atas apa yang terjadi selama 7 tahun ini.

Suasanapun berobah, suatu saat pamannya mengutarakan bahwa mereka memiliki hasrat untuk menjadikan Sipiso Somalim sebagai menantunya. Pada awalnya Sipiso Somalim menolak akan tetapi setelah dia pertimbangkan masak-masak akhirnya dia terima dan pesta perkawinanpun dilaksanakan dengan menggelar upacara adat.

Sipiso Somalim akhirnya menikah denngan putri pamannya sesuai dengan keberangkatannya untuk menemui pamannya Punsahang Mataniari 7 tahun yang silam dan pada suatu waktu dia beserta istrinya meninggalkan Rura Silindung dan kembali menemui Ibunya di kampung halamannya yaitu Kampung Uluan.(Sumber: Dinas Parawisata Taput)


Read More...

Boru Saroding

Sada Tikki, di parnangkok ni mataniari, laho do manussi pahean huhut naeng maridi Boru Saroding tu tao Toba. Huta ni natorasna di holang-holang ni Palipi-Mogang do, marbariba ma tu Rassang Bosi dht Dolok Martahan. Nauli do rupani boru Saroding on. Imana ma inna na umbagak sian boru Pandiangan uju i. Tung mansai bahat do ro baoa manopot ibana, sian huta na dao dht bariba ni tao pe ro do naeng patuduhon holong tu ibana. Alai dang adong manang sada naboi mambuat rohana; namora manang najogi, mulak balging do sude.

Alai dang adong namarhansit roha dibahen ibana, tungpe dang dioloi ibana hata ni akka panopot i. Natorasna, Guru Solandason, tung mansai longang do mamereng boruna nasasada on. Parsip do boru saroding on, malo martonun, ringgas mangula ulaon, ba sandok tahe tung mansai las do rohani natorasna mangida pangalahona. Naburju do ibana marnatoras songonni nang mardongan, jala somba marhula-hula. Bah, tung si pilliton ma nian ibana gabe parsonduk bolon nang gabe parumaen.

Tikki martapian boru Saroding huhut manganggiri obukna na ganjang jala mansai godang i di topi ni tao i, ro ma sada solu manjonohi ibana. Pangisi ni solu on sahalak baoa, jongjong di solu na. Tung mansai tongam, jogi, jala marpitonggam do rumangni baoa parsolu on. Mamereng rumangna dht paheanna ulos Batak namansai bagak, hira na so partoba do ulaonna; nasomal jala jotjot marhumaliang di tao i. Lam jonok, lam mallobok ma tarottok ni boru Saroding. Ai ise do nuaeng baoa on, sukkun-sukkun ma rohana. Solu i pe lam jonok ma attong tu paridianna. Dipahatop boru Saroding pasidungkon partapiananna, ala maila ibana adong sada baoa naposo mamereng-mereng ibana.

Hatopma boru Saroding mangalakka tu jabuna, alai pintor dipangkulingi baoa par solu i ma ibana: “Boru nirajanami, ai boasa hamu humibu-hibu mulak?”.

Songgot ma rohani boru Saroding, dipaso ibana ma lakkana, huhut ditailihon tu lahi-lahi namanjou i. Bah, tung mansai jogi jala tongamma baoa on, inna rohana. Didok ibana ma sidalianna nanaeng godang dope siulaon na di jabu, ido umbahen hatop ibana mulak. Marsitandaan ma nasida, dipaboa lahi-lahi ima asalna sian dolok ni Rassang Bosi-Sabulan namargoar “Ulu Darat”. Disi do inna ibana maringanan. Dipatorang baoa ima aha do sakkapna mandapothon boru Saroding, jala dipangido ibana ma asa dipantadahon tu natua-tuani boru Saroding. Ala pintor lomo rohani boru Saroding marnida baoa i, las ma tutu rohana; rap mardalan ma halahi tu hutana. Hurang tibu nian didok rohana sahat tu huta, asa pintor dipatandahon baoa i tu natorasna.

Longang ma natoras dohot akka iboto nang anggina ala ro sian tao boru Saroding mardongan sada baoa. Sude do halahi pintor tarhatotong mamereng bohi dohot pangkataionni lahi-lahi i. Songon na hona dorma do halahi mamereng bagak ni rumang ni lahi-lahi i. Pamatang na pe mansai togap. Jeppet ni hata, dihatahon lahi-lahi ima sakkap na, naeng pangidoonna boru Saroding naeng gabe parsonduk bolon na. Ala nungnga lomo rohani boruna, pittor dioloi jala dipaboa Guru Solandason ma tu akka dongan tubuna. Dang sadia leleng, dipasaut ma parbogason ni boru Saroding dohot lahi-lahi i.

Dung sidung ulaon parbogason, borhat ma boru Saroding mangihuthon lahi-lahi naung gabe tunggane doli na, marluga solu tu Ransang Bosi. Tung longang do boru Saroding alana mansai hatop do halahi sahat. Lam longang ma ibana ala di dok tunggane doli nai hutana di ginjang ni dolok, di tonga ni tombak Ulu Darat. Las dope rohani boru Saroding, mardomu muse tikki namardalan halahi manganangkohi dolok natimbo i, ditogu-togu tunggane doli na i, tung mansai hatop jala niang do lakkana. Dang loja ibana namandalani dolok na rais i, songoni nang lahi-lahina, tung so hir do hodok ni halahi.

Tung mansai golap do tombak siboluson ni halahi, alai dang maol didalani halahi nadua. Sahat ma halahi tu undung-undung ni lahi-lahi i, ba rupani maradian ma boru Saroding, tarpodom ma halahi sahat tu manogot na. Tikki dungo ibana di manogotnai, dang dibereng ibana tunggani dolina. Dibereng ibana tu pudi nang tu jolo, dang di si amantanai. Tarsonggot ma ibana ala dibereng ibana manginsir sada ulok namansai bolon di tonga-tonga ni hau di joloni alamanni jabu i. Mabiar ma boru Saroding, pintor ditutuphon ibana ma pittu ni jabu i. Dang hea dope dibereng ibana songoni balga na ulok, alai uluna dang songon bohi dohot ulu ni ulok. Ngongong ma ibana di tonga nijabu.

Dang sadia leleng dibege ibana ma tunggane dolina manjou goarna, asa dibukka pittu ni jabu. Hinsat ma boru Saroding mambuka pittu jala pittor dihatahon ibana ma tu tunggane dolina i na adong sada ulok na mansai bolon di jolo ni jabu i. “Dang pola boha i, ulok na burju doi,” inna tunggani doli na mangalusi.

Tung mansai naburju do tunggane doli nai marnioli, dipasonang do roha ni boru Saroding di si ganup ari. Dang dipaloas loja mula ulaon, ai pintor sikkop do sude akka naniporluhon ni hasida nadua. Malo do lahi-lahi nai mambahen si parengkelon, diharingkothon do mangalului akka boras ni hau dohot suan-suanon naboi mambahen boru Saroding tontong uli.

Alai sai sukkun-sukkun jala longang do boru Saroding marnida somal-somal ni tunggane doli nai di siapari. Sada tikki tarbereng simalolongna ma lahi-lahi nai di para-para ni jabu marganti pamatang gabe ulok na bolon! Mansai bolon, songon ulok na hea diberengsa di jolo ni jabu i. Alai paulak so diboto ibana ma, ala mabiar ibana murung annon ulok i. Manginsir ma ulok na bolon i haruar sian jabu manuju tombak, tading ma boru Saroding di jabu. Tung mansai biar jala manolsoli ma dirina napintor olo manjalo hata ni baoa i dang jolo manat dirimangi, ai dang jolma biasa hape.

Botari nai mulak ma tunggane doli nai mamboan akka nalaho sipanganon ni halahi, boras ni hau, suan-suaonon, nang akka jagal, tarsongon ursa, aili, pidong, dohot akka na asing. Dung sidung mangaloppa dht mangan halahi, manghatai ma tunggane doli nai tu boru Saroding. Dipaboa ibana ma ise do dirina: sombaon ni Ulu Darat, na sipata gabe ulok sipata gabe jolma. Dang pola dipataridahon boru Saroding songgop ni rohana, mengkel suping sambing do ibana tu lahi-lahi nai patudu holongna, tung pe di bagas rohana nungnga mansai biar jala manolsoli. Las ma tutu roha ni lahi-lahi i mamereng boru Saroding.

Sada tikki ro ma duatsa akka iboto ni boru Saroding mangebati halahi tu dolok ni Ulu Darat. Ai sai masihol do inna halahi marnida iboto hasian ni halahi. Las hian ma rohani boru Saroding didalani akka hula-hulana hutana di dolok na timbo jala ikkon mangalosi tombak namansai jorbut. Dilehon do akka sipanganon natabo tu akka iboto nai, sombu jala puas do halahi namaribot manghata-hatai dht marsipanganon. Mandapothon bot ni ari, diboto boru Saroding do parroni tunggane doli na sian tombak langa-langa. Mabiar ma ibana molo tarboto tu lahi-lahi na sombaon i na ro akka iboto na mandapothon halahi marsihol-sihol, alana diboto ibana do siallang jolma do ibana molo tikki gabe ulok.

Sian nadao pe nungnga diboto ibana soara ni ulok i, mardisir-disir do soarana. Humalaput ma boru Saroding manabunihon ibotona natolu i tu ginjang ni para-para, martabuni di toru ni bukkulan ni jabu, asa unang dibereng tunggane doli na i. Sahat ma tu jabu amanta na i, alai pintor songon na asing ma panganggona. “Ai songon na adong uap ni pamatang ni manisia huanggo?” inna ibana manukkun boru Saroding.

Busisaon ma boru Saroding, humalaput ma ibana mambahen sipanganon ni lahi-lahi nai. Dung sidung marsipanganon, modom ma halahi. Alai anggo mata dohot igung ni tunggane doli nai sai maos do momar jala dipasittak-sittak ala adong inna uap ni jolma di jabu i. “Dang adong halak na asing di jabutta on,” inna boru Saroding, “Modom ma hita, nungnga mansai bagas be borngin.” Alai sai lulu do tunggane nai di uap ni manisia i, ba ujung na rupani, mardongan biar dipaboa boru Saroding ma naro do hula-hula ni halahi sian Samosir ala masihol mamereng halahi nadua. “Sombakku ma tunggane doli,” inna ibana mangelek, “paloas ma akka ibotokki mandulo hita. Ai holan alani namasihol do hula-hulattai asa ro halahi tu tu dolok Ulu Darat on.”

Ujung na rupani didok baoa i ma asa dijou duatsa iboto ni boru Saroding i asa tuat tu bagas ni jabu sian partabunion nasida di toru ni tarup. Marsijalangan ma hasida, jala borngin i gabe holan namanghata-hatai ma sahat tu manogot. Dung binsar mataniari marsakkap ma borhat akka Pandiangan natolu i mulak tu Samosir.

“Ai aha do lehononmu na lae tu hami songon boan-boan nami tandani naung niebatan huta muna boru nami?” inna sahalak Pandiangan iboto ni boru Saroding i. “Nauli ma raja nami,” inna baoa i mangalusi. Dilehon ibana ma sada-sada be gajut nagelleng naung marrahut tu akka hula-hula nai. Alai didok ibana ma: “Holan on do pe naboi tarpatu au raja nami, alai unang pintor bukka hamu gajut on di dalan manang dung sahat hamu tu huta muna. Dung pitu ari pe asa boi ungkapon muna gajut on.” Diundukhon akka iboto ni boru Saroding ma hatani lae nai. Mulak ma halahi tuat sian dolok Ulu Darat, marsolu ma muse sahat tu Samosir. Dung sahat halahi di huta nasida, dipatorang ma rupani tu inanta na be pardalananni nasida jala dipatuduhon ma boan-boan na nilehon ni lae nasida.

Songon na marungut-ungut ma sada Pandiangan on alana holan gajut nagelleng naso diboto isi na do di lehon lae nai tu hasida, hape nungnga loja halahi mangebati tu dolok Ulu Darat. Jeppet ma sarito, sada Pandiangan on dang sabar paimahon pitu ari songon natinonahon ni lae nai. Marsogot nai pintor di suru ma inanta be mambukka gajut i asa tarboto manang aha do isana. Alai molo anggina siampudan (molo so sala), sabar do paimahon pitu ari, jai dang dibukka ibana gajut na ditiopna. Tek ma rupani, holan dibukka ibotoni boru Saroding gajuti, holan tano, hotang, hunik, dohot akka gulok-gulok do isina. Muruk ma ibana, diburai ma tunggane doli ni ibotonai jolma nasomaradat. “Ba hea do lak songon on ma lehonon na tu hula-hula na?” inna halahi mardongan rimas. Dibolokkon ma gajut i. Sai dijujui ma asa anggina na sada nai mambukka gajut i, sarupa do isina manang dang. Alai martahan do anggina i dang mambukka gajut i sampe pitu ari.

Di ari papituhon, dibukka ma gajut i di alaman ni huta. Pintor haruar ma godang akka gulok-gulok, alai dang sadia leleng gabe horbo dohot lombu ma gulok-gulokhi. Tung mansai godang do horbo dohot lombu i, sampe do ponjot alamani ni huta i. Hunik nasian gajut i pe gabe mas, markilo-kilo godangna, jala gabe godang ma tubu hotang di pudi dohot panimpisan ni jabu. Dang pola leleng, gabe mamora jong attong iboto ni boru Saroding nasasada on. Sinur nang pinahan, gabe naniulana, jala godang mas nang hotangna. Hata ni legenda, sahat tu sadari on, pinompar ni Pandiangan on ma nahasea jala akka namora.

Dung hira-hira piga bintang (najolo, dang bulan di dok, bintang do. Jadi sabintang, sarupa mai sabulan di saonari), dipangido boru Saroding ma tu tunggane na asa dipaloas ibana mandulo huta ni natorasna, ala tung mansai masihol ibana inna. “Hatop pe au mulak,” inna ibana do mangelek, asa dipaloas tunggani doli na. Songon na borat do diundukhon lahi-lahi nai pangidoanni boru Saroding. “Adong gorakhu dang na laho mulak be ho tu Ulu darat on,” inna tunggani doli nai. Sai dielek-elek boru Saroding ma lahi-lahi nai, marjanji do ibana dang leleng di huta ni natorasna. “Sombakku ma raja nami, palias ma i. Hodo tungganekku, dipasonang-sonang ho do ahu saleleng on, dung parsonduk bolonmu au. Pintor mulak pe au,” inna boru Saroding mangelek. Ala nungnga sai torus dipangido jala dielek boru Saroding, ba dipaborhat lahi-lahi nai ma ibana sahat tu topi tao ni Ransang Bosi.

Sada bulung do inna dibuat lahi-lahi nai dibahen gabe solu nalaho dalan ni boru Saroding. Alai didok ma hata na parpudi: “Boru Saroding nauli, boru ni raja do ho. Jadi porsea do au di hatam namandok tung mansai holong do roham tu au. Jai porsea do au ikkon hatop do ho mulak sian huta ni natorasmu. Jai ikkon marpadan do hita diparborhathon songon mangarahut holong ni roham tu au.” Diundukhon boru Saroding ma, jala didok songon on: “Dok ma padan i tunggane dolikku naburju.” Dungi didok lahi-lahi nai ma padan songon paborhathon boru Saroding naung hundul di solu: “Dekke ni Sabulan tu tonggina tu tabona, manang ise si ose padan tu ripurna tumagona.”

Borhat ma boru Saroding, dilugahon ibana ma soluna–na sian bulung-bulung i. Tung mansai tonang do tao Toba, dang adong umbak jala alogo pe mansai lambok, langit pe mansai tiar. Tading ma lahi-lahi nai manatap sian topi ni tao, bohina tung lungun do ditadinghon parsonduk bolon na mansai dihaholongi rohana. Dang pola sadia dao dope boru Saroding marluga, manaili ma ibana tu pudi, didok ibana ma songon on: “Peh…! Bursik maho, ai dang jolma ho hape. Sombaon do ho! Ulok nabolon! Unang dirippu ho nalaho mulak be au tu ho! Palias mai!. Ai so jolma ho…” Holan sae didok boru Saroding hatana, pintor ro ma alogo halisunsung dohot udan na marimpot-impot. Tao ipe pintor timbo galumbangna. Mabiar jala songgot ma rohani boru Saroding. Sai dilugai ibana solu nai alai dang tolap mangalo umbaki. Dang sadia leleng pintor balik ma solu na, manongnong ma ibana jala gabe dohot ma ibana sombaon pangisi ni tao i.

Sahat tu sadari on dihaporseai sabagian pangisini Rassang Bosi, Dolok Martahan, Sabulan, Palipi, Mogang, Hatoguan, Janji Raja, Tamba, Simbolon, do turi-turian on–dohot nagabe boru Saroding pangisini tao i. Sai manat-manat do halak molo mangalewati tao i, dang marsitijur, dang boi mambolokhon akka na kotor tu taoi, jala unang tuit-tuit molo pas marsolu, markapal, manang marbot. Jala lahi-lahi ni boru Saroding gabe dijouhon do i “Amangboru Saroding.” Alani holong na tu boru Saroding, sipata tuat do inna ibana sian Ulu Darat tu tao i, bahat do inna halak naung hea mamereng: ulok na saganjang hau ni harambir/kalapa do inna marlange-lange di tao i.

Di Sabulan pe, apala di topi ni dolok Ulu Darat i, di huta Pandiangan, adong do sada inganan namargoar “Parpangiran ni Namboru boru Saroding.” Buni do inganan on, godang hian dope hau songon tombak. Alana sian na met-met nungnga manusia na sok ingin tahu au, nungnga hudalani inganan on, hutogihon akka ito, namboru, inangudakku, alana au sandiri pe mabiar do mardalan sandiri tusi. Adong do sada hau nabolon di ginjang ni mual na diyakini akka jolma (kessuali akka pangula ni huria) songon inganan parpangiran ni boru Saroding. Percaya tidak percaya, di ranting ni hau i tubu utte pangir (jeruk purut), semacam tanaman benalu, alai dang boi buaton i. Tokka do inna molo dibuat, olo ro parmaraan. Alai molo maruntung do naro tu si, pintor dabu do annon anggir i, diboan ma i tu jabuna be. (diceritakan oleh: Suhunan Situmorang).


Read More...

Wednesday, October 3, 2007

Silangkua ni Pege

Narobi ni narobi adong ma sada huta margoar Dolok Maralit-alit. Pandaraman ni parhutaon marhauma do huhut tu tombak mangalului Gota, Damar, Hotang dohot angka na asing. Laklak ni hau do disorha mambahen bonang, ditonun ma gabe ulos na laho pangkeon ni pangisi ni luat i, ala ido dope na masa tingki i.

Ia hutaon ndang sadia dao sian tombak, adong do hasomalan parsobanan, parsungkitan ni angka naposo sian hutaon. Dung sidung marbabo, ulaon ni angka unan nang na marbaju, somal do laho tu tombak mangalului pandan. Diletek ma i mambahen lage dohot tandok.

Ia di hutaon adong ma sada na marbaju tung nauli do rupana si Langkua ni Pege do goarna. Alani hona ni parsisigatonna runsur lanok sian obukna, ala ni landitna marhilong-hilong songon habong jentur, ima diandungkon amani purbahollung. Jala uli ni hurumna ipe songon na hinombu-hombu, rungkung na songon pangaritipan tobu huhut dililiti singkoru2 dohot hinohopanna songon antajau namongkal, tu bitis patna songon dengke namangolu, domu tu pardalanna i songon limbat namangolu.

Tung sae do hinauli songon suru-suruan bidadari ma, hohar doli-doli huhut marsigulut pasahat tona mangido napuran tano-tano rangging marsiranggongan anggiat tondi marsigomgoman di roha ni doli2 na sai humoli-humoli. Dina sahali laho ma si Langkua ni pege dohot donganna namarbaju ni huta i tu tombak mangalului sungkit, gabe udur ma nasida 7(pitu) halak.

Dina mardalan i sahat ma nasida tu tombak, si udur-udur do nasida tu dolok tu toruan songon anak ni dengke di ambar na mardalan mambuati bulung sungkit dohon mambuat pandan on. Lam leleng lam dao ma masuk halak i tu tombak asa lam gumodang dapot sungkit on. Alai anggo si Langkua ni pege maos mammiliti do ibana, ai dibuat nasada dipalua na sada, ganup ditiop-dipatudos tu na sadanari, sai umuli do sian na tiniopna parjolo. Sai songon ima si Langkua ni pege marlojong tusan-tuson, gabe tarsirang ma ibana sian donganna sionom halak i.

Di tombak i sai songon na adong do ro tu rohana mandok asa sai tuson ho..tuson ho ro, hape naung tartait hosa ni ulok Saniang Naga do ibana tumopothon lubang ni ulok na sohaluluan jolma manisia. Dina guling ari marsijouon ma halakki, asa mulak nasida tu huta, hape naso panagaman di ida ma si Langkua ni pege ndang adong. Dipio ma gogo "Didia doho Langkua ni pege?. beta hita mulak nungnga botari. dialusi sahali "dison do ahu". tep, disoro ulok Saniang Naga ma ibana diboan ma tu liang na, martariak ma ibana: Tolong, tolong ninna. Disi dibege sionom halak i, dilojongi ma naeng mangalului, hape lam dao soara ni si Langkua ni pege on. Ai nungnga sahat be halakki tu liang ni ulok i, dungi marsak ma sionom halak i jala tumatangis. Hatop ma mulak nasida paboahon barita i tu huta tu ama-ina ni si Langkua ni pege.

Disi dipatorang na marbaju i namasa i, marsak situtu do natoras ni si Langkua ni pege on, dungi dijou ma pargondang asa dipalu gondang marsomba tu sombaon na di tombak i asa dipalua sombaon i boruna na tinangkupna i, alai luhutna dang marlapatan usaha ni halak i.

Leleng ni parlelengan ia si langkua ni pege dipiara ulok ido ibana bahen donganna ndang dipalua sian liang i. Ditarui ulok i do sipanganonna, dia na lomo ni rohana dilehon do. Leleng di parlelengan sabam ma rohana disi ndang diingot be soroni arina na pinarmudu ni ulok naga i ibana. Naso pangkiriman nunga haduk anggo dipardangingon ni si Langkua ni pege, ai ndang sadia lelangnai gok ma di arina, topakma ulok sian ibana, pitu ulok sahali tubu ditubuhon ibana.

Disi di ida si Langkua ni pege songon i tubuna, mangandung ma ibana mangopas soharu tu talaga, soharu tu halanghulu, huhut ma diandunghon sambor ni nipingki..Oee bagian lampiang di simangarudok lapung i, ai pitu-pitu sahali tubu ulok lapa-lapa sian butuha jea on, jadi roma hata ni ulok i: "O ale boru ni rajanami, parsaulian do i diho, unang marsak roham unang burai dirim. Ida anakmi pitu sahali tubu, nda nunga martua jala sumurung ho sian donganmu jolma? Patur-ture ma inang unang mandele ho", ninna huhut dililiti ulok i si Langkua ni pege paboa lasniroha na.

Pitu taon pitu bulan ma si Langkua ni pege di liang inganan ni ulok i, tarsingot ma ibana tu ama-ina na, asa naeng paebatonna tubuna itu huta ni natorasna i di Dolok Maralit-alit. Jadi dipangido ma tu ulok i: "O ale ulok amani dakdanakon, pitu-pitu anakmon sian au nda tama paebatonku tu damang? Beta ma hita laho sonang do rohangku mardongan ho, pos ma roham asal ma laho hita tu huta ni damang. Hupaboa pe tu damang, hodo sapartinaonku arian nang borngin", ninna si Langkua ni pege tu ulok i.

Singkat serita, dipasingkop ma balanjona di dalan laho manopot hu huta ni amana di Dolok Marali-alit, dungi borhat ma nasida sisia halak i mardalan tu huta . Nang sian nadao nungnga dibereng parhuta i ma halak i, masipaboahan ma parhuta i: "Nunga mulak si Langkua ni pege, Oee nungnga mulak ibana", disi sahat di harbangan ni huta i. Di ida ma tutu nunga ro rap dohot ulok i, tarsonggot ma natoras na mandapothon ibana. Unang mabiar hamu marnida ulok on, ulok sipartogi do i ndang siboan jea i parsaulian do binoan ni di hitaon, ninna si langkua ni pege.

Dihaol ma boruna jala di ummai alani siholna dung leleng ndang dibereng. Dungi rap ma nasida laho tu huta udur dohot ulok i, ia ulok i pulik do dibahen inganan na ndang domu dohot juara natorop naro mamereng si Langkua ni pege i. Dung manang adong piga ari halak i di huta i, laho ma si Langkua ni pege tu batang aek namamolus sian toru ni huta i, naeng maranggir marningot hasomalanna di tingki haposoonna laho patiar-tiar obukna namarhilong-hilong i.

Alai anggo Ulok Saniang Naga nabolon i dohot anakna napitu i laho do tong tu batak aek maridi, di tingki na marlangei ulok i mansai godang do jolma mamereng sian nadao, leleng do antong maridi ulok i. Hape longkang ma sisik ni ulok i sian daging na, jala ulok i pe mangililu ma gabe jolma manisia. Alai anggo sisikna i gabe mas dohot perak marmaupan di batang aek i, lopus sahat tu paridianni si Langkua ni pege, dipapungu ma mas & perak i, jala diboan ma tu jabu. Longang ma halak sude marnida naung gabe jolma ulok i, mulak ma nasida tu bagas rap dohot si Langkua ni pege, dungi marpesta ma halak i, digokkon ma saluhut parhuta i manghalashon basa-basa ni marhuaso siboan tua i, di nasida.

Dung i sonang ma si Langkua ni pege diparsaripeonna jala mamompari ma selamat panjang umur sahat tu nasarimatua ndang hurang manang aha ibana. Songon ima turi-turian ni si Langkua ni pege "Simanuk-manuk jala sibontar andora, ndada sitodo turpuk siahut lomo ni roha, bagian do sijaloon”. (Diceritakan oleh: B.K.Marpaung, 1954).


Read More...

Tuesday, October 2, 2007

Porang ni Aji

Suatu waktu di sebuah kampung hiduplah seorang yang bernama Ama ni Porang Aji. Ia mempunyai 2 orang anak kembar(silinduat) seorang laki-laki dan perempuan, anak yg lelaki bernama si Porang dan yg perempuan bernama Si Aji.

Kehidupan keluarga Ama ni Porang aji sangatlah berkecukupan dari hasil pertanian dan ternaknya. singkat cerita semakin tua Ama ni Porang aji ini maka diserahkanlah semua tugas pekerjaan sehari-hari kepada anaknya si Porang yg sudah beranjak dewasa. Si Porang sangat rajin mengerjakan tugasnya dan bekerja tidak mengenal lelah.

Pada suatu hari saking semangatnya si Porang bekerja di sawah, sampai-sampai dia lupa untuk pulang makan ke rumahnya. Matahari sudah berada diatas kepala, menjelang tengah hari si Porang tidak kunjung pulang dan ibunya sangat merisaukan anaknya itu, lalu disuruhlah adiknya si Aji untuk mengantarkan makanan untuk abangnya itu.

Maka berangkatlah si Aji adiknya itu dan sampailah dia di sawah lalu dipanggil-panggil abangnya itu dari tepi sawah tetapi tidak di dengar si Porang yg sedang asik bekerja sambil bernyanyi. setelah beberapa kali dipanggil barulah abangnya itu menyahut, “abang istirahatlah dulu, ini aku sudah bawa makanan untuk makan siang mu" kata adiknya. kemudian naiklah si Porang untuk makan sambil bersenda gurau dengan adiknya di tepi sawah.

Setelah selesai mereka makan, tiba-tiba melompatlah seekor tikus betina ke pangkuan si Aji, terkejutlah dia dan menjerit kaget. Melihat itu dengan cekatan abangnya si Porang menangkap tikus betina itu dan membunuhnya. Lalu bercerita dia kepada adiknya itu bahwa tikus ialah binatang perusak, sering makan padi-padi di sawah dan lumbung, sebab itu dia membunuhnya.

Oh ido ate, ninna ibotona si Aji, Alai asing do disungkun ibana. “boasa tajom iponna jala pinsur ? dungi dia ma tanganni bagudung on? “

Songon i do ito ingkon tajom do i. ala ido gatti ni sinjatana laho mangalo musuhna. Dungi patna parjolo duansa, ima tangan na huhut patna. Dos do goar-goarna dohot hajolmaon, alai asing do bentukna, ninna si Porang mangalusi ibotona i.

Molo boti goari itokku ma jolo goar-goarni badan ni bagudung on, songon na adong di jolma gombaranna asa hubege, ninna si Aji.

Burju attong si Porang dipajojorhon sude, on uluna….huhut ditudu ulu ni si Aji, on andoranna, huhut di jama andora ni si Aji. on susu na ,huhut dijama susu ni ibotona,on butuha na, huhut di dadap butuha itona i. Songonni ma dipatorang si Porang tu ibotonna i huhut dipatudoshon.

Alai tompu ma didok si Aji, ia on ito aha ma goar ni on huhut ditudu ibana. Longang si Porang umbege sukkun-sukkun iboto nasada i, terpaksa ikkon patorangonna, huhut dibuka na niabitan ni si Aji laho patuduhonsa. Ndang tarhatahonsa be! si Porang pe tarlanggar ma di sukkun-sukkun i,golap ma dibereng ibana tano on. Gor ma na mintop jala marbulalak ma na galak, tarjadi ma Sipiso sumalin manihamhon tu ibotona di roha-daging tano on.

Setelah peristiwa itu terjadi pelanggaran itu, terkutuklah mereka! Bergemuruhlah guntur di langit memecah langit, kilat bersahutan, angin topan berdesir dan turunlah hujan yg sangat lebat mengutuk mereka berdua dan akhirnya disambar petirlah mereka berdua dan mati berhimpitan(dempet) menjadi batudempet.

Begitulah riwayat cerita Porang Aji, menjadi suatu batas yg pantang kita langgar dan dilarang keras ttg hubungan sedarah(incest).(diceritakan oleh: B.K.Marpaung)


Read More...

Legenda Batu Gantung Parapat

Parapat atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk dijangkau.

Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.

Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.

Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.

Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.

Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.

Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.

“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.

Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.

“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.

Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.

“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.

Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..

Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.

“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.

Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.

Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.

Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.

Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.

Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.

Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.

Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.

Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia (diambil dari:melayuonline.com).


Read More...

Pangujian ni Sisingamangaraja XII

Di laon-laon ni ari dung sarimatua bulung Raja Sisingamangaraja XI, O.Sohahuaoan tu anakna sihahaan na margoar Pallupuk do jolo dibahen wakilna mandalaton harajaon Singamangaraja i di tano batak, asa Pallupuk do laho mardalan tu angka luat dohot bius ni Raja i, laho pasahat tona dohot pademak angka parmusuan, ala nungnga matua Raja i, jala ndang tuk dope umur ni anggina i O.Pulo Batu(Patuan Bosar).

Alai dung sarimatua ‘habang’ ma Raja Sisingamangaraja XI, marhata jala martahi ma sude angka raja-raja di Bius Patane bale onan Balige di bona pasogit di tano Baligeraja. Asa dipilit jala diuji sian anakni Raja nadua i, na jadi gantina ima si Pallupuk dohot O.Pulo batu. Asa tarida sian nasida nadua, manang ise do na miniahan ni O.Mulajadi Nabolon manjujung hasaktian ni harajaon Singamangaraja i, na jadi singkat ni amana i.

Dung ditontuhon nasida ari ni pangujian i di tano Baligeraja, jala dipasingkop ma sude nasa ambu-ambuan na porlu tusi, diusung ma dohot pusaka-pusaka hasaktion ni harajaon Singamangaraja sian Bakkara, ima ‘Piso Gaja Dompak’, diumpat marsillam-sillam, dipasarung Marungut-ungut, dohot ‘Hujur sane siringis’- Hujur sitonggo mual, ‘Piso halasan’-sitonggo hagabean, ‘Piso pangabas’-siabas begu jau, siabas begu toba, dohot ‘lage-lage haomasan’, ‘Tabu-tabu sitara pullang’, ‘Tumtuman bahen sotera’, dohot ‘hoda sihapas pili’.

Asa gondanganna dohot patortoronna nasida nadua di lobuan na godang di antaran na bidang i, na hinaliangan ni marribu halak di Bius Patane Bale onan balige.

Dungi dimangmang junjungan ni Bius godang i ma Pande Nabolon, disahalahon ma jala ditonggohon tu O.Mulajadi Nabolon, tu Debata natolu dohot tu hasaktian ni O.Raja Singamangaraja, asa tangkas dipatuduhon manang ise na miniahanna laho manjunjung hasaktian ni harajaon Singamangaraja i, asa dipataridahon marhite pangidoan dohot ronggo-tonggona sian pusaka hasaktian i.

Jadi ala naung hea diwakili R.Pallupuk harajaon ni Amanta i uju di ngoluna, jala ibana do muse sihahaan, ba ibana ma jolo parjolo niuji patuduhon hasaktian, ninna. Asa sian nasogot ma gondangna sahat tu na hos, jala sian na guling sahat tu na bot ma gondang ni anggim O.Pulobatu, ninna ma.

Dungi diuji ma parjolo Pallupuk, digondangi ma ibana sian nasogot diparnangkok ni ari sahat tu na hos. Alai ndang boi diparrodohot ditonggo nanggo sada sian bukti ni sahala hasaktian i. Ditortorhon dohot ditonggohon pe hujur sane-singiris i mangido udan, alai ndang marna ro udan. Dungi muse naeng umpatonna piso Gaja Dompak i, alai ndang boi diumpat. Dijou ma muse hoda hundangan sihapas pili i, ipe ndang olo ro. Dungi diabashon pe piso pangabas i, ndang olo sian manang ndang masimangot.

Dungi didok ma tu R.Pallupuk: "Ai nungnga sae gondangmu ale Rajanami Pallupuk, hundul ma hamu jolo, asa dibahen anggim O.Pulobatu gondangna, ai nungnga pola miling mara ari", ninna.

Dung hundul R.Pallupuk, marsurak ma jolma natorop i saluhutna songon na paimahon tortor ni Raja i O.Pulobatu, tung mariaia do sude marhata horas-horas.

Dung sae muse diatur lage si 7 lampis panortoran ni O.Pulobatu, dipagompis ma sude nasa ula-ula, dipilit ma angka na bontis ma nungnga tung dalhit-dalhit soara ni gondang i nunga songon na mangkatai taganing sipatnoni-noni i, nunga mamingas manariur soara ni sarune i, songon na marende-ende, jala hona takna tu parseser ni hesek i, sor daina begeon.

Dungi jongjong ma O.Pulobatu, disi sahat dope dais patna tu atas ni lage sian si 7 lampis panortoranna i, nunga pintor songon na marhobot langit ditutup ombun, jala margorok-gorok alamat dohot tanda ni udan naeng ro, dibereng jolma i. Dungi manomba-nomba ma tangan ni Raja i tu ginjang tu O.Mulajadi Nabolon, tu Debata natolu, tu sahala ni suru-suruan parhalado, dohot tu sahala ni O.Siraja batak.

Langit pe nunga tung mamirong jala margojo-gojo songon na laho matompas, ro ma udan idaon dohot hilalaon. Dungi dipangido Raja i ma jolo sian raja Panuturi i, “piso Gaja Dompak”, ima pusaka hasaktian ni Raja Singamangaraja, ditortorhon ma i jala ditonggohon jala disahalaon ma i asa umpatonna di antaran nabidang di lobuan na godang i. Disintak ma diumpat sian sarungna i, marsillam ma tutu tu anak ni mata ni jolma na marnida i, siloan do deba ndang tahan simalolong na marnida parsillam ni piso i. dungi muse dipasarung, toho do marungut-ungut songon na patungoripon tangkas do tarbege i tu siparseon ni angka jolma na umbegesa.

Dung sae i dipangido Raja i ma muse “piso Pangabas” i rap dohot “piso Halasan”, ditonggohon dohot disahalaon raja i hasaktian ni piso i, siar ma. Diabas ma luhut tu desa naualu, jadi pintor sisi ma tiur langit i, mamilgas ma dohot mata ni ari angka na tonu binahen ni udan nangkin pe.

Dijou Raja i ma muse hoda hundangan sihapas pili i, jadi pintor marihe-ihe ma ro mandapothon ibana tu tonga-tonga ni lobuan i. Asa ndang pola martali manang marrante, torus do pintor dihunduli dohot dienjak Raja i hoda i di tonga-tonga ni lobuan i marhaliang-haliang, jolma na torop ipe marsurak-surak ma jala marija-ija, marhoras-horas.

Dung sae sude pangujian na marbukti sian pusaka hasaktian i, ditonggohon dohot disahalaon ma O.Pulobatu. Marsurak ma jolma i marhata horas-horas mandok sai horas ma Raja i O.Pulobatu manjujung sahala hasaktian ni harajaon Singamangaraja i. (diceritakan oleh: R.Patik Tampubolon).


Read More...

Monday, October 1, 2007

Tunggal Panaluan(2)

Tongkat Tunggal Panaluan ini adalah tongkat sakti Si Raja Batak yang diukir dari kejadian yang sebenarnya, yang merupakan kesatuan kesaktian benua atas, benua tengah dan benua bawah.

Asal Mula Tongkat Tunggal Panaluan:
Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan banyak sudah patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah.

Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi. Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti putri menari.

Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan.

Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu.

Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.

Berselang beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya.

Ia semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari. Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.

Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.

Banyak cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa. Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya.

Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale. Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya. Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale.

Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia. Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput.

Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang memahatnya dari sebatang kayu.

Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menjadi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale.

Apabila tidak maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya. Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah.

Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale.

Tuntutan kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.

Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri Naimanggale adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale. Dengan mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata : “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah bersama-sama menanyakan pendirian saya.

Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai. Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata: "Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan kita",
a. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale.
b. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale.
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale.

Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan:
Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Kedua, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.

Baoa Partigatiga yang menjadi amangboru Putri Naimanggale Nasindak Pangaluan meminang langsung Putri Naimanggale untuk menjadi suami anak yang bernama Guru Hatautan, dan atas persetujuan mereka Guru Hatautan dan Putri Naimanggale Nasindak panaluan pun menikah dan merekapun mengadakan pesta ritual untuk pernikahan ini.

Mereka sudah lama menikah sebelum perempuan itu hamil. Perempuan itu sangat lama mengandung. Selama mengandung terjadilah kelaparan di daerah itu. sesudah tiba saatnya, Nan Sindak Panaluan melahirkan dua orang anak kembar, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.

Kisah ini menjadi aib bagi masyarakat Batak Toba. Anak kembar dengan jenis kelamin berlainan membawa malapetaka pada masyarakat setempat dan sedini mungkin secepatnya dipindahkan. Kemudian Guru Hatautan dan istrinya Nan Sindak Panaluan memberi nama kepada kedua anak kembar itu sesuai dengan adat yang berlaku pada masa itu. Anak laki-laki itu disebut Si Aji Donda Hatautan dan anak perempuan itu disebut Si Boru Tapi Nauasan.

Sesudah acara atau upacara pemberian nama, tokoh-tokoh masyarakat pada waktu itu menganjurkan untuk memisahkan kedua anak itu. alasannya adalah bahwa kedua anak kembar itu tidak akan mengindahkan norma-norma dan hukum adat dikemudian hari. umumnya sikap dan sifat anak kembar tidak jauh berbeda satu sama lain. Atas dasar pandangan ini masyarakat setempat pada masa itu menghendaki kedua anak kembar itu dipisahkan. Lama-kelamaan anak itu berkembang dan tumbuh dewasa. Rasa cinta dan keakraban tumbuh tanpa disadari kedua orang tersebut.

Pada suatu ketika mereka saling berjalan ke hutan bersama seekor anjing. Rasa cinta yang tumbuh tanpa disadari bergejolak pada saat itu. mereka melakukan hubungan seksual (incest). Sesudah melakukan hubungan yang tabu itu mereka melihat pohon si Tau Manggule yang sedang berbuah. Mereka ingin memakan buah pohon itu. si Aji Donda Hatautan memanjat pohon tersebut dan memakan buahnya. Seketika itu ia melekat pada pohon itu. Kemudian Si Tapi Boru Nauasan memanjat pohon tersebut dan memakan buahnya dan ia pun melekat juga pada pohon itu.

Menurut terjadinya tunggal Panaluan merupakan hukuman dari Dewa-dewi, karena kedua anak kembar tersebut melakukan hubungan badan yang tidak sepantasnya. Kedua anak tersebut melekat pada pohon yang sedang berbuah menandakan bahwa Siboru Tapi Nauasan telah mengandung dari kakaknya Si Aji Donda Hatautan.

Sesudah kedua insan itu melekat pada pohon tersebut, mereka berusaha melepaskan diri, namun mereka tidak berhasil. Anjing yang ikut bersama mereka saat itu pergi memberitahukan keadaan kedua insan itu kepada orangtuanya. Guru Guta Balian bersama dengan Datu datang ketempat mereka untuk melepaskan mereka dari pohon tersebut. Beberapa Datu yang lain yang datang kemudian ikut berusaha melepaskan kedua insan itu, namun mereka semua ikut melekat pada pohon Piu-piu Tunggale tersebut. Susunan personil pada Tunggal Panaluan itu adalah Si Aji Donda Hatautan, Siboru Tapi Nauasan, Datu Pulu Panjang Na Uli, Si Parjambulan Namelbuselbus, Guru Mangantar Porang, Si Sanggar Meoleol, Si Upar Manggalele, Barit Songkar Pangururan.

Mitos terjadinya Tunggal Panaluan diceritakan dengan bentuk ajaran yang dilanjutkan secara turun temurun. Unsur rasionalitas mitos tersebut ialah bahwa Tunggal Panaluan sungguh ada hasil karya seni ukir masyarakat Batak Toba. (diceritakan oleh: Prof. M. Sorimangaraja Sitanggang).


Read More...