Thursday, September 27, 2007

Tunggal Panaluan

Tunggal Panaluan (Batak Magic Wand).
Dahulu kala ada sebuah cerita yang berasal dari Pangururan, pulau Samosir tepatnya di desa Sidogor-dogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang dukun yang bergelar 'Datu Arak ni Pane'. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan.

Telah sekian lama mereka menikah tetapi belum juga di karuniai keturunan. Suatu ketika perempuan itu hamil setelah begitu lamanya mereka menunggu, kehamilan tsb membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap keadaan itu hal yang gaib(aneh), bersamaan pada saat itu juga sedang terjadi masa kemarau dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, saking teriknya tak tertahankan, permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi kerak dan keras.

Melihat keadaan kemarau dan panas yg masih terjadi ini, membuat Raja Bius(head of Malim community) menjadi risau, lalu ia pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya : "Mungkin ada baiknya kita

mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan, hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya". Lalu Guru Hatimbulan menjawab :"Semua ini mungkin saja terjadi", lalu Raja Bius mengatakan :"Semua orang kampung heran mengapa istrimu begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat ganjil" , karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka, tetapi tidak sampai ada perkelahian.

Di lain waktu tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan, seketika itu juga maka hujan pun turun dgn lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Untuk merayakan itu semua, lalu Guru Hatimbulan memotong seekor lembu serta untuk mendamaikan kekuasaan jahat.

Ia juga mengundang semua penatua-penatua dan kepala-kepala kampung dalam perjamuan itu, dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu di beri nama Si Boru Tapi Nauasan.

Setelah usai pesta tsb, ada beberapa tamu yg telah menasehatkan Guru Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya di asuh bersama-sama, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar, dan juga berlainan jenis kelamin, hal ini sangat tidak menguntungkan menurut kata orangtua dulu.

Guru hatimbulan tidak memandang serta memperhatikan nasehat dari para penatua dan kepala kampung tsb. Setelah sekian lama terbuktilah apa yg dinasehatkan oleh para penatua itu dan benar adanya. Dilain waktu, Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk disana, dan membawa anak-anaknya kesana.

Gubuk itu dijaga dgn seekor anjing dan setiap hari Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anaknya tsb. Setelah anak-anaknya bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon(hau tadatada), pohon yang batangnya penuh dgn duri, dan mempunyai buah yg masak & manis.

Melihat buah pohon itu,maka timbullah hasratnya untuk memakannya, tetapi sebelum dia naik ke pohon itu, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga, dia tertelan dan menjadi satu dgn pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat(tersisa) . Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore kok belum pulang juga adiknya, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk menyelidikinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yg berdekatan dgn dia, dan adiknya menceritakan apa yg terjadi,sehingga dia tertelan oleh pohon tersebut.

Si Aji Donda memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menjadi satu dgn pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pd pohon tsb, lalu anjing itupun mengalami hal yg sama, tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat.

Seperti biasa si Guru hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon tsb dan dimana dia hanya melihat kepala dua orang anak-anaknya dan anjing penjaga. Melihat hal itu dia menjadi sedih.

Dari info dan petunjuk yang dia cari maka bertemulah dia dengan seorang datu yg bernama Datu Parmanuk Koling, dia menceritakan kejadian itu dan mengajak datu itu ke pohon tsb untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yg ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok dan pemusik pun sudah dipanggil lalu si Datu memulai ritualnya, si datu berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yg menawan anak si Guru hatimbulan, setelah upacara selesai maka naiklah si Datu Parmanuk koling ke pohon itu, tetapi hal yg sama juga terjadi, dia tertelan oleh pohon itu.

Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dgn hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa , mereka tetap berusaha mencari jalan keluarnya dgn mencari datu lain. Kemudian Guru hatimbulan mendengar kabar ada datu yg hebat, namanya Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Orang itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yg sama.

Kemudian ada juga Datu Boru SiBaso Bolon, dia juga menjadi tawanan si pohon itu. Hal yang sama juga terjadi kepada Datu Horbo Marpaung, Si Aji Bahar(si Jolma so Begu) yang mana setengah manusia dan setengah iblis. Dan seekor ular pun di telan pohon itu. Guru hatimbulan sudah kehabisan akal,dan juga telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk keperluan pemusik(gondang) , pele-pelean, dan semua yg diminta para datu itu utk roh yg ada di pohon tsb.

Beberapa hari setelah itu, seorang datu, bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan Guru hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru hatimbulan mempercayai omongan si datu itu,dan menyediakan semua apa yang diminta oleh si datu. Si datu berkata bahwa kita harus memberikan persembahan kepada semua roh, roh tanah(spirit of land), roh air(water), roh kayu(wood) dan lainnya baru kemudian bisa membebaskan kedua anak tsb.

Guru hatimbulan mempersiapkan semua yg diperlukan oleh si datu utk upacara tsb sesuai dgn arahan si datu. Kemudian mereka pergi menemui pohon itu disertai oleh orang kampung sekitarnya. Setelah si datu selesai memberikan mantra kepada senjata wasiatnya, lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang yg ada di pohon tsb jadi menghilang, juga anjing dan ular yg tertelan pohon tsb. Semua orang yg menyaksikan seperti terperanjat, lalu si datu berkata kepada Guru hatimbulan: 'Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-orang yg ditelan oleh pohon ini". Guru hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dgn bentuk 5 orang lelaki, 2 orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular.

Setelah selesai mengukir tongkat tsb menjadi 9 image, maka semua orang kembali ke kampung guru hatimbulan, ketika mereka tiba di kampung ditandai dgn bunyi gong, dan juga mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yg di ukir dalam tongkat tsb. Setelah guru hatimbulan selesai manortor maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Setelah itu baru datu Parpansa Ginjang manortor(menari), melalui tortor ini dia kesurupan(siar- siaron) dirasuki roh-roh dari orang2 yg pernah ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu-persatu, mereka adalah roh dari:
1. Si Aji Donda Hatahutan.
2. Siboru Tapi Nauasan.
3. Datu Pulo Punjung nauli, atau si Melbus-elbus.
4. Guru Manggantar porang.
5. Si Sanggar Maolaol.
6. Si Upar mangalele.
7. Barita Songkar Pangururan.

Dan mereka berkata, "Wahai bapak pemahat, kau telah membuat ukiran dari image kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam, kami mengutuk kamu, wahai pemahat!. Si datu menjawab, "Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah pisau ini tanpa pisau ini aku tidak dapat mengukir image kalian". Tetapi si pisau berbalik membalas, "Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi, kalau saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau". Si tukang besi pun tidak ingin disalahkan lalu berkata, "Jangan kutuk aku tapi kutuklah Angin, tanpa angin aku tidak dapat menempa besi". Angin pun menjawab,"Jangan kutuk kami tapi kutuklah si Guru hatimbulan". ketika semua tertuju pada Guru hatimbulan, maka roh itu berkata melalui si datu, "Aku mengutukmu, Ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang melahirkan aku".

Ketika Guru hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik, "Jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang jatuh ke dalam lubang dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan".

Lalu Roh itu berkata: "Baiklah, biarlah begini adanya, ayah, dan gunakanlah aku untuk: menahan hujan, memanggil hujan pada waktu musim kering, senjata di waktu perang, mengobati penyakit, menangkap pencuri, dll. Setelah upacara itu, maka pulanglah mereka masing-masing. Adapun tinggi tongkat Tunggal Panaluan sekitar 170 cm dan biasanya dimiliki oleh Datu bolon(dukun besar).
(diterjemahan oleh: Sahat Ngln, Forgotten Kingdom in Sumatra)


Read More...

Monday, September 24, 2007

Legenda Silahisabungan (part2)

4.Berairnya air susu Pinta Haomason dan pemberian nama si Raja Tambun.

Walaupun tekad Silahisabungan tidak bisa dirobah sesuai ikrarnya kepada mertuanya Raja Mangarerak, dalam perjalanan timbul pertanyaan dalam hatinya apakah istrinya memperlakukan dan menerima anak ini seperti anak kandungnya.

Karena kekwatiran itu sesampai Silahisabungan di Tolping gajut yang berisi bayi tadi, digantungkan disendal Sopo sebelum bertemu Pinta Haomason istrinya itu. Melihat Silahisabungan datang istrinya menyambut dengan riang gembira, akan tetapi air mata Silahisabungan seperti ada permasalahan yang mengganjal pikirannya lalu ditanya.
Kedatangan Bapak kali ini berbeda dengan yang sudah-sudah, ada masalah apa yang dihadapi mari kita pecahkan secara bersama.

Mendengar pernyataan Pinta Haomason ini Silahisabungan mulai lega lalu berkata : Lihatlah Gajut, di Sendal Sopo itu, itulah yang mengganjal dalam pikiran saya lalu Pinta Haomason pergi ingin cepat-cepat mengetahui permasalahan suaminya.

Astaga!, teganya Bapak mempelakukan bayi seperti ini, kenapa tidak lagsung dibawa kerumah, kalau sempat meninggal karena tidak minum bagaimana!. Sibayi dikeluarkan dari gajut itu dipangkunya dan Silahisabungan disuruh menyalakan api ditungku, dikembangkan tikar dan diapun duduk bersama bayi itu layaknya seperti yang baru melahirkan.

Ambil dan masaklah bangun-bangun itu biar saya minum lalu berdoa :
- Sintong do ahu nahurangan dijolma ale Ompung Debata, ai holan sada do anak hutubuhon.
- Sai unang ma tampuk sahali manang nibagot tinunggoman
- Sintong mai langu, maraek ma bahen bagottu asa unang mahiang tolonan ni anakkon.

Tidak berapa lama sehabis berdoa dirasakan buah dadanya membesar lalu puting susunya dimasukkan kedalam mulut sibayi dihisap dengan sangat lahap dan dengan kegembiraan yang meluap-luap kegirangan dia berkata :
Nunga tambun anakku si sada-sada si Raja Tambun ma bahenon goarna. Sore harinya anaknya Silalahi pulang dari ladang, Dia heran kapan mama hamil sekarang sudah bersalin.

Silahisabungan terus mengerti melihat sikap anaknya itu lalu bertiga ikrar tidak boleh keadaan ini diberitahu kepada siapapun, termasuk kepada si Raja Tambun apabila ia sudah besar, cukup kita bertiga yang mengetahui rahasia ini.

Jadi di Tolping tidak dikenal Tambun Raja nama si Raja Tambun karena Pinta Haomasanlah yang menyusui, memelihara dan membesarkan dan memberi namanya. Pinta Haomason dan Silahisabungan sangat sayang terhadap si Raja Tambun ini dan setelah dia mulai meningkat menjadi remaja, kemana saja Silahisabungan pergi anak ini harus ikut dan makan pun harus satu piring (sapa).

5.Perawatan atas cideranya tangan si Raja Tambun.

Setelah si Raja Tambun menjadi remaja Silahisabungan pamit kepada istrinya untuk pergi ke Silalahi Nabolak akan tetapi si Raja Tambun ikut serta. Pinta Haomason keberatan atas keikut sertaan anak kesayangannya si Raja Tambun akan tetapi Silahisabungan pun bersikeras untuk membawanya akhirnya disetujui dengan pesan, jagalah anak kita ini baik-baik termasuk misteri kelahirannya.

Sesampai di Silalahi Nabolak istrinya Pinggan Matio boru Padang Batanghari bertanya inikah anak kita yang Bapak ceritakan yang di Tolping, kenapa masih kecil, seharusnya sudah harus lebih besar dari anak-anak kita disini.

Sewaktu menjawab pertanyaan inilah Silahisabungan tidak bisa menguasai dirinya dia lupa akan ikrarnya di Tolping mengenai misteri si Raja Tambun semuanya terungkap diberitakan kepada isterinya Pinggan Matio boru Padang Batanghari.

Dimuka telah dijelaskan bahwa kasih sayang Silahisabungan memang melebihi terhadap anaknya yang lain dan kebiasaan si Tolping itu terbawa-bawa sampai ke Silalahi Nabolak sehingga mengundang kecemuburuan dan kurang senang atas sikap ayahnya.

Suatu ketika si Raja Tambun ingin mengikuti abang-abangnya ke ladang lalu permisi kepada Silahisabungan. Abang-abangnya sangat senang atas permintaan itu karena menurut mereka merupakan kesempatan yang baik untuk melampiaskan kecemburuan mereka kepada si Raja Tambun. Setelah diladang, dipertanyakanlah kepada si Raja Tambun siapa ibunya, lahirnya dimana dan lain-lain pertanyaan untuk memancing emosinya dan akhirnya mereka berkelahi tangan si Raja Tambun cedera dan malah ada keinginan untuk membunuhnya.

Rupanya Pinggan Matio boru Padang Batangharipun memberitakan mengenai misteri kelahiran si Raja Tambun kepada anak-anaknya, hanya saja tidak disebut nama mamaknya atau tempat kelahirannya.

Si Raja Tambun dengan cedera yang dideritanya menjumpai Bapaknya Silahisabungan dan memberitakan bahwa ibu yang di Tolping bukan itu yang melahirkan dan tempat kelahiranku bukan di Tolping serta kemanapun kucari pamanku tidak akan ketemu.

Silahisabungan sangat marah kepada anak-anaknya atas perlakuan terhadap anak kesayangannya si Raja Tambun dan berkata, kalau anak-anakku tidak bisa rukun saya tidak akan kalian lihat meninggal (ndang tauluttonon muna au mate).
Walaupun cidera tangan si Raja Tambun diobati disana pikirannya sudah tidak senang lagi, ingin cepat-cepat menanyakan informasi yang didengarnya kepada ibunya Pinta Haomason dan sejak itu mendesak Silahisabungan untuk segera pulang.

Melihat keadaan si Raja Tambun serta pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya Silahisabungan akhirnya memutuskan untuk segera membawa si Raja Tambun pulang ke Tolping namun sebelumnya dibuat perdamaian diantara anak-anaknya disuatu tempat di Simarampang yang disebut Poda Sagu-sagu Marlangan.

Usainya pelaksanaan pada sagu-sagu marlangan ini Silahisabungan dan si Raja Tambun kembali ke Tolping. Setelah di Tolping ibunya Pinta Haomason berusaha keras memulihkan cidera tangan anaknya itu namun dibalik itu si Raja Tambun sudah mulai mempertanyakan mengenai dirinya, ibu yang melahirkannya dan lain-lain karena menurut abang-abangnya di Silalahi Nabolak saya tidak lahir di Tolping dan ibu yang melahirkan bukan ibu dan kemanapun pamanku tidak akan ketemu.

Semua pertanyaan itu dijawab dengan senyum dan disebut jangan pikirkan itu tidak benar apa yang disebut di Silalahi Nabolak, sayalah ibumu dan pamanmu adalah Simbolon di Pangururan. Kasih sayang Pinta Haomason kepada si Raja Tambun tidak membuatnya berbenti mencari kebenaran informasi yang didengarnya, tidak ada asap kalau api tidak ada dan tidak mungkin kata-kata itu timbul di Silalahi Nabolak bilamana ibu yang melahirkanku adalah ibu Pinta Haomason ini.

Si Raja Tambun adalah seorang anak yang cerdik dia menyadari kasih sayang Silahisabungan, Pinta Haomasan maupun abangnya Silalahi kepadanya, tidak mungkin saya memperoleh jawaban yang memuaskan kalau pertanyaannya tidak saya robah pikirnya.

Abangnya Silalahi didekatinya untuk mengkorek rahasia kesaktian Silahisabungan dan Silalahi dengan kepolosan dan menurutnya tidak ada hubungannya dengan misteri si Raja Tambun memberi tahu bahwa :“Kalau pakaiannya tidak lengket kepada badannya apapun kita tanya pasti dijawabnya dengan benar”.

Pengetahuan yang baru ini disimpan dalam hatinya, lalu pada suatu ketika sewaktu Silahisabungan akan pergi mandi si Raja Tambun minta ikut, inilah kesempatan mengambil pakaiannya pikirnya.
Sewaktu Silahisabungan sedang asyik mandi seluruh pakaiannya dipakai si Raja Tambun dan pedangnya dipegang dalam tangannya, lalu mengancam Bapaknya.

Bapak jangan selalu bohong, ceritakan secara jelas siapa ibu yang melahirkan dimana saya lahir dan siapa pula pamanku, apabila tidak diceritakan akan saya bunuh.

Silahisabungan dengan terpaksa karena tidak bisa keluar dari air itu memberitahu informasi yang sebenarnya lalu si Raja Tambun pun menyerahkan pakaian itu dan sesudah sampai di rumah kejadian itu diceritakan kepada istrinya Pinta Haomasan.

Ibunya meratapi akan perpisahannya dengan anak kesayangannya itu dan bersinandung :
- Mangintubu ahu sungkot padna ralihon so mangkutti pagar
- Mainundun ahu sungkot padna ralihon so maraek papan.
- Hape maraek do bagottu diporo mulajadi asa unang mahiang tolonan sai anakku na hupatarus-tarusi, na husihon-sihon i hasian ni inana
.

Si Raja Tambun kalaupun akan pergi mencari ibu yang melahirkannya sebelumnya harus dibuat padan dengan abangnya Silalahi agar mereka berdua tetap marsitogu-toguan, tondina masigonggoman dan tanggal pelaksanaan pun ditentukan.

6.Padan Dengke Nilaean.
Pada hari yang ditentukan dan sajian berupa:
- Ikan Batak ( ihan )
- Sagu-sagu sitompion
- Padang na jagar telah tersedia

Dimulailah acara pemberian Padan kepada kedua anaknya lalu Pinta Haomasan mar tonggo "On ma da Ompung Mulajadi Nabolon dengke nilaean, sai lae ma roham mengalehon parhorason, penggabean tu anakhon. On ma na manggugut-gugut di limut na liot-liot di batu, sai dapotan gagaton dapotan jilaton ma anakhon. Sagu-sagu sitompion na godang ma on asa manompi mas manompi pangomoan anakhon. Lanjang-lanjang purun-purun jonggi hais sai hais ma nipi na sambor hais na to marlabu sian anakhon. Jonggi manaek ma anakhon naek-naek tu surgo, marganda padi siganda sigandua sipusuk ni podom-podom na sada gabe dua ma on na tolu gabe onom. Manarsar ma on songon mange mangararat songon singator.

Padan ma na huhatahon tu anakhon asa sisada lulu anak sisada lulu boru, naso tupa masi paetek-etehan, tampuk ni ate-ate ma hamu amang uratni pusu-pusu Asa ho amang si Raja Tambun :
“… Ingkon aek ni unte ma haham Silalahi on diho dipadoit-doiton bunga ni sira dipagugut-guguton….”

Nang ho amang Silalahi : “…Molo holong roham tu anak ni hinaholongmu songonima holong ni roham dianggim si Raja Tambun on…”
Ho pe amang Silahisabungan bahen ma pasu-pasum tu anakta on asa horas ibana mangalului inangna, horas hita dison.

Nungga gok be nian dibahen ho pasu-pasu alai hutambai ma saotik nari.
Amang si Raja Tambun: “…Sai torop mabue ma pinomparmu gabe maho jala mamora tumpahon ni mulajadi, masuak tangke ma ho rahut-rahutan tarida tutur tambah-tambusan sai ingot ma ho ditona dompak haham Silalahi on…”

Nang ho amang Silalahi: "…Sai gabe ma ho jala mamora sai dilehon mulajadi ma diho boto-boto biti-biti, sai unang ho lupa ditona balos do hata dompak anggim si Raja Tambunan…”

Setelah selesai pemberian Padan itu diserahkanlah TAGAN yang diterima Silahisabungan dahulu sewaktu membawa dia semasa bayi dengan berkata : "Bawalah TAGAN ini, tunjukkan kepada Ibu yang melahirkanmu kalau masih hidup agar anakku cepat dikenal karena dia dulunya memberi kepada bapakmu sewaktu membawa kamu dari sibisa. Berangkatlah anakku, dirangkul dan menangis diantar oleh Silahisabungan".


Read More...

Legenda Silahisabungan (part1)

1.Perjalanan ke Tolping dan perkawinannya

W.M. Hutagalung dalam Pustaka Batak menulis, “Na lao do Silahisabungan tu luat Silalahi alai jolo maringanan do ibana di Tolping Ambarita”.

Penelitian ini sesuai dengan pesan leluhur, karena untuk keberangkatan 3 (tiga) orang abang beradik Sipaettua, Silahisabungan dan Siraja Oloan mencari pemukiman baru sebagai tempat tinggal, Sipaettua tinggal di Laguboti, Silahisabungan dan Siraja Oloan harus ke Samosir.

Setelah di Lontung SiRaja Oloan dan Silahisabungan berpisah dimana Silahisabungan harus kearah Utara dan tinggal di Tolping sedangkan Siraja Oloan harus ke Pangururan.

Huta Tolping dan pulau Tolping dikukuhkan Silahisabungan sebagai tempatnya yang pertama dan selama tinggal di Tolping kawin dengan Pinta Haomasan anak Raja Nabolon (Sorbadijulu) dari Pangururan sebagai upahnya membantu Sorbadijulu mengusir musuhnya marga Lontung.

Perkawinan ini melahirkan seorang anak yang diberi nama Silalahi, dan sesudah kelahiran anak ini Pinta Haomasan tidak pernah mengandung lagi. Silalahi setelah dewasa dikawinkan dengan boru Simbolon dan dari perkawinan ini lahir 3 (tiga) orang anak yang diberi nama :
1. Tolping Raja
2. Borsuk Raja
3. Raja Bunga-bunga

Raja Bunga-bunga inilah yang diculik Tuan Sihubil yang gagal membujuk Silahisabungan untuk rujuk dalam doa bersama karena musim kemarau panjang di Balige. Setelah diangkat anak kedua dari Tuan Sihubil karena diculik dari parmahanan namanya diganti menjadi Raja Parmahan akan tetapi marganya tetap Silalahi.

Untuk memperkokoh kekerabatan kedua anaknya kemudian dibuat ikrar sisada lulu anak sisada lulu boru antara Tampubolon dengan Silalahi dan sesudah dikawinkan diberi pauseang di Hinalang Balige dan kampungnya dinamai Silalahi Hinalang. Ikrar terjadi antara dua marga dan tidak mungkin perjanjian terjadi antara Raja Parmahan Sigiro dan hasilnya menjadi Silalahi. Sigiro adalah marga cabang dari Pintubatu dan ikrar terjadi antara marga Tampubolon dengan marga Silalahi, dan bila benar Raja Parmahan adalah Sigiro. Ikrar pun harus dengan Sigiro itulah logikanya.
Tolping raja, Bursak Raja maupun Raja Bunga-bunga tidak menjadi marga hanya nama, jadi marganya tetap Silalahi.

2.Perjanalan ke Silalahi Nabolak dan perkawinannya.

Silahisabungan adalah seorang tokoh yang sakti, sanggup mengusir bala atau penyakit, pintar dan sabungan di hata.

Didorong oleh kesaksiannya Silahisabungan selalu ingin pergi ketempat lain manandangkon kedatuon (menguji kepintaran / ketangkasan. Dari Parbaba yang sekarang dilihatnya diseberang danau ada tanah datar dan perbukitan yang indah lalu timbul niatnya untuk pergi kesana.Sebelum kepergiannya sudah dipersiapkan membawa sedikit tanah dan air dalam kendi kecil.

Sesampai di daerah itu, dipinggiran danau didirikan panca-panca sebagai tempat tinggal sekaligus tempat menangkap ikan.

Suatu ketika Raja Pakpak datang dan heran didaerah hutan dipinggir danau yang sepi itu ada orang, lalu didekatinya. Pada awalnya Raja Pakpak ingin berdebat mengenai keberadaan Silahisabungan di daerah kekuasaannya itu, akan tetapi setelah memperhatikan ketangkasannya berbicara akhirnya mengalihkan pembicaraan mengenai teman hidupnya dan menawarkan putri-putrinya menjadi istrinya.
Silahisabungan menyambut tawaran itu dan dipilihnyalah Pinggan Matio boru Padang Batanghari menjadi isterinya.

Perkawinan ini melahirkan 7 orang putra dan seorang putri masing-masing diberi nama Laho Raja, Tungkir Raja, Sondiraja, Baturaja, Dabariba Raja, Debang Raja dan Baturaja, sedang putrinya bernama Deang Namora yang kemudian menjadi marganya kecuali Tungkir Raja masih melahirkan marga cabang yaitu Sipangkar dan Sipayung, dari Sondiraja Romasondi dan Rumasingap, dari Pintubatu adalah Sigiro.

Dj Jhon.R.Sidebang dalam Bonani Pinasa Agustus 1991 menulis bahwa nama huta Silalahi diambil dari nama Silahisabungan yang menurunkan marga Silalahi. Nama anak laki-laki yang menjadi pewaris keturunan marga-marga Silalahi adalah marga-marga tersebut diatas.

Menurut RT Tambunan SH dalam poda Sagu-sagu Marlangan, Silalahi Nabolak itu bukan huta tetapi desa (wilayah) karena daerah lingkupnya tidak hanya tanah perkampungan yang dikelilingi bambu akan tetapi tanah diluarnya yang masih kosong, tanah hutan serta gunung kalau ada didekatnya.

Warga desa diikat oleh hubungan darah dan merupakan turunan dari satu leluhur dan pada umumnya mempunyai marga yang sama (artinya beberapa marga).Huta adalah deretan rumah yang dikelilingi pohon bambu yang lebat dan digerbang kampung biasanya ada pohon ara / hariara. Adat dalihan natolu ialah penghuni setiap huta adalah turunan dari satu leluhur pria artinya satu.

Dari pengertian huta dan desa ini dapat dikatakan bahwa didesa Silalahi Nabolak masih ada huta milik marga lain, misalnya huta Sihaloho, huta Situngkir dan lain-lain sedangkan nama huta Silalahi sudah pasti tidak ditemukan disana karena marga Silalahi anak Silahisabungan terdapat di Silalahi nabolak.

Pada zamannya Silahisabungan belum menjadi marga akan tetapi nama baru menjadi marga pada generasi turunan-turunannya, dan bila sudah menjadi marga tidak berubah lagi, artinya marga kakek, nenek, Bapak diri sendiri dan anak harus sama.

3.Perjalanan ke Sibisa dan perkawinannya.

Setelah beberapa lama di Silalahi Nabolak Silahisabungan pamit kepada istrinya untuk pergi ketempat lain.

Kepergian kali ini adalah menuju Sibisa karena kerinduannya melihat daerah yang pernah dilaluinya bersama adeknya Siraja Oloan sewaktu meraka akan mencari tempat tinggal yang baru.

Raja Mangarerak setelah mendengar Silahisabungan sedang berada didaerah itu berusaha menghubunginya karena sudah lama diketahui kepiawaiannya dalam mengobati berbagai penyakit, karena seorang putrinya menderita penyakit yang parah yang walaupun sudah dibawa berobat kemana-mana tidak sembuh-sembuh.

Mengenai upah apa saja boleh diminta asalkan putrinya dapat sembuh, dan ternyata Silahisabungan berhasil menyembuhkannya. Silahisabungan menagih janji Raja Mangarerak mengenai upahnya yakni suatu kisah yang sulit dibayangkan sebelumnya karena Silahisabungan meminta putrinya yang diobati itu dikukuhkan menjadi istrinya.

Raja Mangarerak menjadi bingung karena sudah dijanjikan namun ditawarkan untuk memilih putrinya yang lain karena boru Meleng-eleng ini sudah bertunangan dengan pemuda lain.

Silahisabungan bersikukuh dengan pendiriannya dengan berkata : Marpudung do palia, mar jaya ia pinamalo ho ditunangan mulak tu nampunasa.

Pernyataan Silahisabungan ini membuat Raja Mangarerak mau tidak mau harus menyetujui, kemudian disyahkanlah perkawinan putrinya itu dengan Silahisabungan.

Tidak berapa lama setela pengesahan perkawinan itu, tanda-tanda kehamilan boru meleng-eleng mulai kelihatan dan Silahisabungan walaupun gembira menerimanya namun tumbuh kekhwatiran kalau tunangan baru pulang sedang anak dalam kandungan belum lahir.

Saya bapaknya, orang lain yang memelihara dan membesarkannya bagaimana nantinya nasib anak itu, demikian terngiang dalam pikiran Silahisabungan.

Apa yang diramalkan benar terjadi satu minggu setelah kelahiran sianak itu. Berita kepulangan tunangannya sudah menyebar dari mulut ke mulut untuk membuat perhitungan dengan Raja Mangarerak atas persetujuannya meresmikan tungangannya kawin dengan pria lain.

Mendengar berita itu Silahisabungan berkata kepada boru meleng-eleng bahwa sesuai janji saya kepada Bapak Raja Mangarerak, saya dan bayi ini harus pergi, untuk itu siapkan keberangkatan.

Meleng-eleng menangis, saya tidak rela melepas anak ini, menetek pun belum bisa dan lagipula air susu siapakah yang mungkin ada untuk menghidupinya sambil bersinandung. (bernyanyi) "Ale Ompung mulajadi nabolon, panongosmi di au leang-leang mandi, Pangalu-aluhon tua ahu ale Ompung molo ingkon mate anakkon ala so minum".

Sebagai yang baru lahir itu dimasukkan kedalam gajut, susu kerbau sebagai bekal dijalan dan diberi tanda sebuah TAGAN tempat sirih, tanda mana kalau kelak anak ini bisa pulang dan saya masih hidup, lalu dilepaslah keberangkatan itu dengan deraian air mata.


Read More...

Asal Mula Kolam Sampuraga

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.

Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.

“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.

“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.

“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.

Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.

“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.

“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.

“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.

“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.

“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.

Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.

Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.

Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.

Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.

Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.

“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.

Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.

Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.

“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.

Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.

Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.

Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.

“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.

Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.

“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.

“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.

“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.

Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri

Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.

Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.(diambil dari: melayuonline.com)


Read More...

Saturday, September 22, 2007

Legenda Danau Toba

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pemuda tani yatim piatu di bagian utara pulau Sumatra. Daerah tersebut sangatlah kering. Pemuda itu hidup dari bertani dan mendurung ikan, hingga pada suatu hari ia mendurung,sudah setengah hari ia melakukan pekerjaan itu namun tak satu pun ikan di dapatnya.

Maka dia pun bergegas pulang karena hari pun mulai larut malam, namun ketika ia hendak pulang ia melihat seekor Ikan yang besar dan indah , warnanya kuning emas. Ia pun menangkap ikan itu dan dengan segera ia membawa pulang ikan tersebut, sesampainya di rumah karena sangat lapar maka ia hendak memasak Ikan itu tetapi karena indahnya ikan itu.

Dia pun mengurungkan niatnya untuk memasak ikan itu, ia lebih memilih untuk memeliharanya, lalu ia menaruhnya di sebuah wadah yang besar dan memberi makannya, keesokan harinya seperti biasanya ia pergi bertani ke ladangnya, dan hingga tengah hari Ia pun pulang kerumah, dengan tujuan hendak makan siang, tetapi alangkah terkejutnya dirinya, ketika melihat rumahnya, didalam rumah nya telah tersedia masakan yang siap untuk di makan, ia terheran heran, ia pun teringat pada ikannya karena takut di curi orang, dengan bergegas ia lari ke belakang, melihat ikan yang di pancingnya semalam.

Ternyata ikan tersebut masih berada di tempatnya, lama ia berpikir siapa yang melakukan semua itu, tetapi karena perutnya sudah lapar , akhirnya ia pun menyantap dengan lahapnya masakan tersebut.

Dan kejadian ini pun terus berulang ulang, setiap ia pulang makan, masakan tersebut telah terhidang di rumahnya. Hingga pemuda tersebut mempunyai siasat untuk mengintip siapa yang melakukan semua itu, keesokan harinya dia pun mulai menjalankan siasatnya, Ia pun mulai bersembunyi diantara pepohonan dekat rumahnya. Lama ia menunggu, namun asap di dapur rumahnya belum juga terlihat, dan ia pun berniat untuk pulang karena telah bosan lama menunggu, namun begitu Ia akan keluar dari persembunyiannya, Ia mulai melihat asap di dapur rumahnya, dengan perlahan lahan ia berjalan menuju kebelakang rumah nya untuk melihat siapa yang melakukan semua itu.

Alangkah terkejutnya dirinya ketika ia melihat siapa yang melakukan semua itu, Dia melihat seorang Wanita yang sangat cantik dan ayu berambut panjang , dengan perlahan lahan Ia memasuki rumahnya, dan menangkap wanita tersebut. Lalu Ia berkata,
“hai .. wanita, siap kah engkau, dan dari mana asalmu?”

Wanita itu tertunduk diam, dan mulai meneteskan air mata, lalu pemuda itu pun melihat ikannya tak lagi berada di dalam wadah. Ia pun bertanya pada wanita itu,
“hai wanita kemanakah ikan yang di dalam wadah ini?”

Wanita itu pun semakin menangis tersedu sedu, namun pemuda tsb terus memaksa dan akhirnya wanita itu pun berkata
“Aku adalah ikan yang kau tangkap kemarin” .

Pemuda itu pun terkejut, namun karena pemuda itu merasa telah menyakiti hati wanita itu , maka pemuda tsb berkata,
“Hai wanita maukah engkau menjadi Istri ku..??”,
Wanita tsb terkejut , dia hanya diam & tertunduk ,lalu pemuda tsb berkata
“Mengapakah engkau diam?!” .

Lalu wanita tsb pun berkata , “ aku mau menjadi istri mu .. tetapi dengan satu syarat, apakah syarat itu balas pemuda itu dengan cepat bertanya, wanita itu berkata,

“Kelak jika anak kita lahir dan tumbuh, janganlah pernah engkau katakan bahwa dirinya adalah anakni Dekke(anaknya ikan)”.

Pemuda itu pun menyetujui persyaratan tsb dan bersumpah tidak akan mengatakannya, Dan menikahlah mereka.

Hingga mereka mempunyai anak yang berusia 6 tahunan , anak itu sangatlah bandal (jugul) dan tak pernah mendengar jika di nasehati, Lalu suatu hari sang ibu menyuruh anaknya untuk mengantar nasi ke ladang ketempat ayahnya, anak itu pun pergi mengantar nasi kepada ayahnya, namun di tengah perjalanan ia terasa lapar, Ia pun membuka makanan yang di bungkus untuk ayahnya, dan memakan makanan itu.

Setelah selesai memakannya, kemudian ia pun membungkusnya kembali dan melanjutkan perjalanannya ketempat sang ayah, sesampainya di tempat sang ayah Ia memberikan bungkusan tersebut kepada sangayah, dengan sangat senang ayahnya menerimanya, lalu ayahnya pun duduk dan segera membuka bungkusan nasi yang di titipkan istrinya kepada anaknya, alangkah terkejutnya ayahnya melihat isi bungkusan tersebut. Yang ada hanya tinggal tulang ikan saja,sang ayah pun bertanya kepada anaknya.

“hai anakku., mengapa isi bungkusan ini hanya tulang ikan belaka”, anaknya nya pun menjawab, “ di perjalanan tadi perutku terasa lapar jadi aku memakannya”, sang ayah pun emosi, dengan kuat ia menampar pipi anaknya sambil berkata
“Botul maho anakni dekke (betullah engkau anaknya ikan),”

Sang anak pun menangis dan berlari pulang kerumah.,sesampainya dirumah anaknya pun menanyakan apa yang di katakan ayahnya

“mak, toho do na di dokkon damangi, botul do au anakni dekke (mak .benarnya yang dikatakan ayah itu , benarnya aku ini anaknya ikan)” mendengar perkataan anaknya ibunya pun terkejut, sambil meneteskan air mata dan berkata di dalam hati.
“Suami ku telah melanggar sumpahnya,dan sekarang aku harus kembali ke alamku,”

Maka , langit pun mulai gelap , petir pun menyambar nyambar, Hujan badai pun mulai turun dengan derasnya, sang anak dan ibu raib, dari bekas telapak kaki mereka muncul mata air yang mengeluarkan air sederas derasnya, hingga daerah tersebut terbentuk sebuah Danau, yang Diberi nama Danau TUBA yang berarti danau tak tahu belas kasih ,tetapi karena orang batak susah mengatakan TUBA, maka danau tersebut terbiasa disebut dengan DANAU TOBA.(sumber: batak.blogspot.com)


Read More...